Ibuku mempunyai seribu mimpi
Yang dipikulnya tiap hari
Sambil menimangku ia pun menyanyi:
Timang tinggi-tinggi,
Dapur tak berasap,
Bila besar nanti,
Jangan masuk lokap.
Ibuku tidak mengenal buku dan sekolah
Tiap pagi terbongkok-bongkok di lumpur sawah
Menggaru betisnya yang dikerumuni lintah.
Hatinya selalu teringat
Suaminya yang mati melarat
Setelah dikerumuni lintah darat.
Ibuku tangannya kasar berbelulang
Mengangkat bata-bata bangunan
Wajahnya dibedaki debu berterbangan.
Ibu tidak pernah mengenal supermarket
Tinggal di bilik sempit
Upahnya buruhnya sangat sedikit.
Ibuku tidak punya TV
Tidak berpeluang pula menontonnya
Tak pernah mengikuti laporan parlimen
Atau ceramah bagaimana menambah jumlah penduduk
Tidak pula tahu adanya forum kemiskinan
Atau pertunjukan masak-masakan
Dengan resepi yang sangat menakjubkan.
Ibuku setiap pagi berulang ke kilang
Bekerja dengan tekun hingga ke malam
Mikroskop itu menusuk matanya dengan kejam
kaburlah mata ibu diselaputi logam.
Ibuku tidak tahu tentang hak asasi
Apalagi tentang seni dan puisi.
Jika ditanya makna melabur
Nama-nama saham yang menjanjikan makmur
Atau tentang dasar pandang ke timur,
Ibu tersenyum menunjukkan mangkuk bubur
Yang melimpah kanji beras hancur.
O ibuku sayang
Di negerimu kau menumpang.
Sesekali kudengar ibu menyanyi
Pantun tradisi caranya sendiri:
Siakap senohong,
Gelama ikan duri,
Bercakap bohong,
Tak boleh jadi menteri.
--------------
Usman Awang
27 Julai, 2007.
Tuesday, August 17, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Terima kaseh.
Sajak yang sungguh bermaana.
Post a Comment